RSS

Di bawah naungan Sayap Ibu


Jumat, 25 Oktober 2013…
Kulajukan sepeda motorku, perlahan, dan untuk kelima kalinya ku melintas di depan bangunan itu. Bangunan yang sekilas nampak seperti lorong rumah sakit dengan cat putih tulang dan berkesan suram. Berpuluh meter telah terlewat dari bangunan itu, kuhentikan laju sepeda motorku. Bimbang…
“mampir…ngga….mampir….ngga…..”
Di satu sisi ingin segera pulang, memeluk anakku dengan penuh kerinduan setelah seharian kutinggal beraktifitas. Pun izin dari suami belum kukantongi untuk mampir ke tempat lain. Tapi entah mengapa keinginan ini begitu besar. Akhirnya kukirimkan sebuah pesan lewat ponsel.
“bi, afwan, ummi ga langsung pulang gapapa? Ummi pingin mampir ke Sayap Ibu. Afwan jadi telat ketemu Genyol nya..”
Pesan terkirim
Tak ada balasan yang datang
Beliau  asyik futsal
Dengan penuh harap “semoga abi ridho”, akhirnya ku memutar balik, kembali ke arah gedung itu. Yayasan Sayap Ibu. Sebuah rumah bagi anak-anak cacat ganda. Beberapa minggu yang lalu aku baru mengetahui keberadaan panti ini. Lewat media elektronik yang ramai mengudarakan kisah seorang Putri Herlina, salah seorang penghuni panti ini yang akhirnya diperistri oleh putra mantan pejabat BI. The real ‘so sweet’, begitu aku menyebutnya.
Kuparkirkan sepeda motor di halaman berpasir. Penuh debu beterbangan. Ada sebuah gedung yayasan yang sedang dibangun dan direnovasi. Penuh kebingungan, aku tak tahu harus menuju kemana. Seorang bapak berpeci dan mengenakan batik coklat memperhatikanku lalu menghampiri.
“ada perlu apa mbak?” tanyanya
“mau tanya2 tentang panti pak, sama mau nengok anak2 disini. Boleh?”
“oo…boleh, boleh…monggo…”
Aku dipersilakan masuk berjalan menelusuri lorong panti
“saya bapak asuh disini mbak… mbak dari mana? Kuliah? Atau sudah kerja?”
Hooo….jadi ini bapak pantinya. Pak Naryo, yang juga mengasuh Putri Herlina sejak bayi hingga tumbuh dewasa menjadi manusia tangguh walau tanpa tangan. Kami terus berjalan sambil ber-tanya-jawab tentang identitasku. Melewati sebuah ruangan terbuka, dimana wajah-wajah ‘khas’ langsung bermunculan, melongok dari balik dinding.
“itu mereka lagi pada ngapain pak?” tanyaku.
“makan mbak. Anak-anak itu kalo makan malem ya jam segini ini, sore-sore. Soalnya kalo malem pengasuhnya udah ga ada. Tinggal saya sama istri…ga akan sanggup ngawasin mereka makan.”
Aku tersenyum membayangkan kekacauan yang dapat mereka buat saat makan.
Kami sampai di depan bangunan induk, ada kursi-kursi dan meja yang ditata diperuntukkan sebagai ruang sekretariat. Pak naryo mulai berkisah. Aku mendengarkan sambil mencuri-curi pandang ke arah ruang makan anak-anak istimewa itu.
“anak-anak disini tu bayi temuan semua mbak. Mungkin memang dibuang orangtuanya karena malu punya anak cacat. Kalo saya bilang ya mereka disini seumur hidup. Cuma mukjizat Allah mbak, seperti yang dialami Lina, dia bisa keluar dari panti ini. Kersaning Gusti ya mbak, ada orang yang mau menikahi dia. Tapi kalo yang lain…saya pesimis mbak, mungkin sampai mati pun mereka bakal disini..”
Aku termenung. Seumur hidup? Sampai mati? Hmmm…. :’(
“kalo yang paling tua disini umur berapa pak?” tanyaku
Pak Naryo menengadahkan kepalanya, tersenyum. “Lina itu termasuk angkatan pertama masuk di panti ini…26 tahun. Tapi ada yang umurnya lebih tua, 28 tahun. Ga bisa ngapa-ngapain dia mbak..”
“kalo yang paling kecil pak?”
“ada yang 3 tahun…”
“3 tahun? Mana pak? Lagi ikut makan disitu juga?” aku mencari-cari sosok mungil disana.
“nggak…dia ga bisa ikut disana. Makannya pakai selang, lewat hidung. Tiduran di box. Itu, di ruangan yang di sana..” Pak Naryo menunjuk ruangan di sebelah rumah induk. Serasa ada yang berdesir di hatiku.
“boleh nengok pak?”
“boleh, boleh..masuk aja disitu. Gapapa.” Pak Naryo mempersilahkan. Sepertinya sudah terbiasa dengan orang-orang yang menjenguk anak-anak asuhnya. Setelah menutup perbincangan, kulangkahkan kaki menuju ruangan itu. Sepi… sebelumnya kubayangkan akan menemui petugas administrasi atau paling tidak pengasuh yang merawat anak-anak. Tapi tak ada. Sepi… hanya ada seorang anak berumur sekitar 6 tahun sedang tidur memeluk boneka. Aku melangkah ke dalam, memasuki sebuah kamar penuh box bayi. Semua box sekilas Nampak kosong, sampai aku mendengar samar suara seperti orang mendengkur. ‘Grook..groookk..’. dan yah, setelah dicermati lagi, aku melihat balita umur 3 tahun yang diceritakan Pak Naryo tadi. Suara ‘dengkuran’ itu berasal dari selang yang melewati hidungnya. Matanya terpejam. Posisi kedua kakinya menyilang janggal. Tangan kanannya sedikit menjulur ke luar box. Kuraih tangannya, kuusap pelan.
“kuat…kuat Nak yaaa… perjuanganmu untuk surga Allah nantinya. InsyaAllah…” :’(
Tak kuat berlama-lama disana, aku segera menuju ke ruang terbuka, tempat anak-anak istimewa tadi sedang makan dengan heboh.
Berkenalan dengan beberapa pengasuh yang menyuapi anak-anak, dan sedikit berbincang dengan Bu Naryo. Kemudian duduk di antara anak-anak. Seorang anak di sebelah kiriku menoleh.
“Hai, kak!” sapanya sambil mengulurkan tangan. Senyum asimetris menghiasi wajah khas down syndrome nya.
“Hai. Saya Fika.” Jawabku memperkenalkan diri sambil menjabat tangannya.
“kak fika? Namaku..Nnnnniinnnniiiii….” ucapnya terbata. Aku tersenyum. Nini kembali asik dengan makanannya. Kuamati mereka satu per satu. Dan terngiang kembali kata-kata Pak Naryo tadi. “seumur hidup, sampai mati, mereka akan tetap disini.” Hmmh….
Tak lama, aku pamit. “pulang dulu yaaa..” kulambaikan tangan pada semua anak. Kusangka tak akan ada yang menghiraukan lambaikan tanganku. Namun ternyata banyak yang menjawab. Nini tampak paling semangat berteriak. “hati hati ya kaaaakk…nanti main kesini lagi yaaa..”
Menuju lorong panti, aku berpapasan dengan seorang anak.
“mau pulang kak?” tanyanya sambil meraih kemudian mencium punggung tanganku.
“iya..” jawabku. Kuperhatikan raut ceria di wajahnya. Separuh wajahnya cacat tak berbentuk. Salah satu matanya tertutup.
“sini, aku anter sampe depan” ujarnya tiba2 bergelayut manja di lengan kiriku.
“namanya siapa?”
“Nana kak”. Dalam hati aku tersenyum Nini.. Nana… mungkin Pak&Bu Naryo memang tak punya waktu untuk merangkai nama-nama indah. Waktu mereka telah tersita untuk memperjuangkan hidup anak-anak istimewa itu.
“kakak kapan mau kesini lagi kak? Ajak temen-temennya dong… biar rame.. kakak punya temen yang bisa jadi pengasuh disini ga kak? Pengasuh disini dikit banget…aku aja kemaren sampe sakit gara-gara kecape’an ngusus adik-adik disini… atau kakak deh, ngurusin kita disini. Ya?”
Nana terus berceloteh. Dan aku pun speechless dibuatnya.
“insyaAllah, kapan-kapan kakak main kesini lagi deh..”
“bener ya kak… doain aku sehat-sehat disini yaaa…” ujarnya sambil memelukku.

Aku pulang. Sampai rumah langsung kupeluk Azkadun yang selalu heboh melihatku datang. Kupeluk, kuciumi wajahnya, mata, hidung, bibir, telinganya… kuciumi jemari tangannya satu per satu, dan kupeluk lagi. Allah…Maha Besar Engkau yang telah memberi kesempurnaan pada keturunan hamba. Sehatkanlah, lindungi dan rahmatilah kami semua.
Terbayang wajah Nini, Nana, dan si kecil yang tak tak kuketahui namanya.
Dan aku tahu, ku tlah jatuh cinta pada mereka.

4 komentar:

ayu mengatakan...

#mewek

Azkalicious mengatakan...

dan saya belum bisa menepati janji, belum sempat berkunjung kesana lagi
:(

Unknown mengatakan...

maaf, numpang nanya, boleh nanya2 tentang yayasan sayap ibu mbk?
boleh minta kontak personya?

Azkalicious mengatakan...

waduh, maaf mb Nuru, saya baru tau kalo ada komentar. kalo kontak person saya juga ga punya. hehe...

Posting Komentar

Copyright 2009 #TheDunStory. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates