RSS

Ummidun is Working Mom


DOKTER

Itu cita2cita saya waktu kecil.
Bermodalkan ke-PD-an saya saat itu yang sering meraih juara 1 di kelas (SD loh ini...SD...), dan kekaguman saya terhadap profesi seorang dokter, maka mantap sekali niat saya kala itu.

"ka, cita-citamu apa?" tanya seorang saudara saat itu.
"dokter, bulik!"
"wah, hebat! dokter apa?"
"mmm...dokter apa aja deh, pokoknya dokter.."
"dokter kandungan aja ka.."
"emang kenapa bulik?"
"iya, soalnya sekarang ni dokter kandungan cowok semua. padahal yang hamil kan ibu2. makanya kamu jadi dokter kandungan aja..."
"oh, iya ya bulik?"

Sejak saat itu setiap ada pertanyaan tentang cita-cita, jawaban saya pun menjadi lebih spesifik.
Dokter Kandungan!
*keren da ah...

"Asik ya dokter kandungan, bisa gendong adik bayi tiap hari. bayi lucu-lucu...."
(fika, 9tahun, anak tunggal yang pingin banget punya adik. polos sekali.)

Seiring berjalannya waktu, realita perlahan membuka mata.
- Prestasi di sekolah mulai turun.
Mmm...masih bisa jadi dokter ga yaa...nilainya cukup ga yaaa...
- Nyadar biaya kuliahnya mahal segambreng
Mmmmmm....ayah punya duit buat kuliah anaknya ga yaaaa...ada duit ga yaaaa...
- Mulai keblinger ngapalin anatomi tubuh hewan
Errrrr....kodok aja ribet gini yak..gimana manusia...?
- Akhirnya sadar, untuk jadi dokter ituuuu harus tau 'dalemannya' manusia. Yang berarti harus ngebelek2 tubuh manusia. Yang udah ga bernyawa tentunya.
Bayangan menggendong adik bayi pun pecah berkeping2.
Mmmm...... Oke.....
SAYA GA MAU JADI DOKTEEEEERRRRRR......
Dan akhirnya saya banting setir, menetapkan cita-cita yang baru.
Yang menurut saya lebih keren daripada dokter.
"Mau jadi ibu rumah tangga aja deh, kaya ibu"
*Mantap....

Namun apa daya, cita-cita tinggallah impian.
Sekarang, saya bukan dokter, bukan juga ibu rumah tangga.
Saya terdampar ke dalam sebuah status : PNS.
PNS yang jam kerjanya full dari jam 7.30 sampai 17.00 tiap harinya, 5 hari dalam sepekan.
Dan ketika akhirnya saya berkeluarga, punya pendamping-pendamping hidup (sebut saja Abidun dan Azkadun), disinilah perasan itu bermula.
"andai saya meraih cita-cita 'ibu rumah tangga' saya"

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yah...status Working Mom (WM) dan Full Time Mom (FTM) terkadang menciptakan sebuah perdebatan, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Pernah saya membaca  salah satu halaman facebook,yang saat itu membahas 'Anak Yang Diasuh oleh Neneknya'. Komentar2nya saya rasa banyak yang menyudutkan WM, sampai ada komentar2 yang membekas di benak saya saking keterlaluannya.
"Saya sih lebih baik di rumah, mengasuh anak2. Penghasilan suami berapapun saya terima."
"Buat apa ngumpulin duit banyak kalo anak sendiri diasuh orang lain?"
"Anak itu titipan Tuhan kepada kita. Kalo titipan itu kita titipkan lagi ke orang lain jadi apalah namanya itu?"
"Anak kok dititip2in. Kalo ga siap ngasuh anak ya jangan punya anak, gitu aja!"

Waw....baca kalimat2 itu serasa ada yang lagi ngegamparin bolak balik.
Dan saya pingin bales ngegampar bolak-balik-bolak-balik-bolak-balik-bolak lagi & balik lagi.
*jangan ditiru...

Seorang wanita, tentu sangatlah mulia jika kesehariannya berada di rumah, merawat rumah beserta isinya, mengasuh anak dengan penuh kasih sayang, memasak, mencuci pakaian...merapikan tempat tidur anak2nya, membersihkan bekas ompol si bayi, menemani belajar si sulung, mengajari anak mengaji, menceritakan kisah-kisah Nabi setiap anak-anak hendak tidur....menyiapkan air hangat untuk mandi suami, menghidangkan secangkir kopi dan mungkin sepiring pisang goreng hangat buatan sendiri.
Subhanallah, betapa indahnya.
Namun ketika seorang wanita memutuskan untuk bekerja, kemudian rumah 'udah pake khadimat aja', lauk 'udah beli di warung padang aja', pakaian 'udah dilaundry aja' & anak 'udah dititipin aja', apakah lantas ia menjadi hina?

Ga puas dengan penghasilan suami?
Ngumpulin duit banyak?
Hmm...kenapa harus selalu dipandang dari segi materi?
Bagaimana dengan Bu Guru, Bu Perawat, Bu Bidan, Bu Dokter?

Saya bisa menjadi seperti sekarang ini, tak lepas dari peran para guru. Tak usah ditanya berapa banyak kenangan saya bersama para Ibu Guru. Mulai dari Ibu Guru saat TK yang memandikan saya pasca 'tragedi jatuh dari ayunan & nyebur di kubangan lumpur', sampai Ibu Guru saat SD yang merawat saya yang sakit ketika lomba cerdas cermat di Semarang.
Saya melahirkan Azkadun pukul 02.30 dini hari. Dokter saya seorang wanita, seorang istri sekaligus ibu, yang saat dikabarkan ada pasien hendak melahirkan, dia segera berlari menuju ruang bersalin.
Apakah yang demikian itu demi uang semata??
Lalu dimana letak nilai pengabdian?

Iya, saya memang tak semulia Ibu Guru dan tak sehebat Ibu Dokter.
Namun itu tidak menjadikan saya sebagai ibu yang tidak bertanggungjawab terhadap anaknya. Saya tidak melewatkan kesempatan memberikan ASI eksklusif untuk Azkadun. Saya tau betul kapan Azkadun mulai bisa tengkurap, tumbuh gigi, merayap, berceloteh, dan mulai belajar berpijak. Kurang lebih 10 jam dalam sehari saya meninggalkan Azkadun di sekolah, namun itu tidak membuatnya lebih dekat dengan guru-gurunya dibanding dengan saya. Ini bukan hanya tentang seberapa lama waktu yang kita berikan, namun seberapa besar perhatian yang kita curahkan. Kualitas, bukan sekedar kuantitas.

Seperti yang banyak orang ucapkan; Hidup adalah pilihan. Tinggal bagaimana cara kita untuk berdamai dengan setiap keadaan.

Ummidun is Working Mom, masih memiliki keinginan untuk berganti status menjadi Full Time Mom. Namun apapun itu, Ummidun selalu berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga.
Love U Abidun, Love U Azkadun... :*

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 #TheDunStory. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates